Di pinggir Jalan Surubug, jarang dilirik mata, berdiri sebuah rumah yang tak pernah benar-benar dihuni oleh cinta. Di sana, ibu dan anak hidup bukan sebagai keluarga, tapi sebagai dua cermin retak yang saling memantulkan kebohongan, dusta, dan fitnah Dajal yang dibalut busana ilahi.
Tak ada anak kandung. Yang ada hanya anak pungut dari keluarga melarat karena penuh dosa karena hasil persetubuhan jurig Jarian—diambil bukan karena kasih, tapi karena perhitungan. Anak itu tumbuh dalam bayang-bayang utang, bukan hanya utang uang, tapi utang moral yang tak pernah dibayar. Ia tenggelam dalam narkoba, larut dalam judi online, dan hidup seperti bayangan yang tak tahu arah.
Ibunya? Tak kalah lihai. Setiap kali ditolong, ia memutarbalikkan fakta. Kebaikan dianggap jebakan, bantuan dianggap penghinaan. Ia bicara seolah korban, padahal tangannya penuh racun. Lidahnya lentur, bisa jadi doa, bisa jadi pisau.
“Kami gak pernah minta! Dia yang maksa bantu!” Begitu katanya, setiap kali ada yang mengungkit kebaikan masa lalu.
Mereka bukan keluarga. Mereka adalah kumpulan mahluk yang tercipta dari nyawa yang bersengketa. Hidup bersama bukan karena cinta, tapi karena saling butuh untuk bertahan dalam kebohongan. Rumah itu bukan tempat tinggal, tapi panggung sandiwara. Setiap hari, mereka berlatih peran: sebagai korban, sebagai pahlawan, sebagai orang yang paling disakiti—padahal merekalah yang paling banyak menyakiti.
Dan Tuhan? Mungkin sedang diam. Bukan karena tak peduli, tapi karena tahu: sebagai ganti kisah Qurun di zaman sekarang.
cerpen bersambung