Sukabumi,- Selasa 09 September 2025.- Di tanah yang disebut Sukabumi Mubarokah, keberkahan bukan hanya soal pembangunan, melainkan tentang bagaimana seorang pemimpin menyapa yang paling sunyi. Di sana, di sudut kampung Anggayuda, RT 01 RW 05 Desa Pamuruyan, Kecamatan Cibadak, berdiri sebuah gubuk renta. Bukan rumah, tapi sisa-sisa kayu dan atap yang menua bersama waktu. Di dalamnya, Pak Maman telah tinggal selama 17 tahun—bukan karena tak punya tanah, tapi mungkin karena tak pernah mendapat sapaan dari negara.
Lalu datanglah hari itu. Sebuah video call, sederhana namun menggetarkan. Bupati Sukabumi, Drs. H. Asep Japar, M.M., menyapa Pak Maman dengan suara yang tenang, doa yang lirih, dan janji yang mengandung harapan dari keyakinan Sukabumi Mubarokah.
“Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sampurasun,” ucapnya membuka percakapan.
Ia melanjutkan dengan pengakuan yang jujur, bahwa ia mengetahui kondisi Pak Maman dari berita yang beredar di media cetak dan elektronik.
“Mendengar di berita, baik itu elektronik atau pun cetak, bahwa ada salah seorang warga yang tinggal di Kampung Anggayuda, RT 01 RW 05 Desa Pamuruyan, Kecamatan Cipadak,” katanya.
Setelah dilakukan asesmen, diketahui bahwa Pak Maman memiliki sebidang tanah di Kampung Paris, RT 02 RW 06 Desa Pemulihan, Kecamatan Cibadak. Namun rumahnya telah ambruk, menyisakan puing-puing yang tak lagi mampu melindungi dari hujan dan dingin.
“Di mana Bapak Maman, hasil asesmen, ternyata Bapak Maman itu punya tanah. Yang alamatnya di Kampung Paris, RT 02 RW 06 Desa Pemulihan, Kecamatan Cipadak. Namun, rumahnya sudah ambruk,” jelasnya.
Dan di titik itulah, janji lahir. Bukan janji kampanye, bukan janji panggung, melainkan janji yang lahir dari tatapan mata dan suara yang menyentuh serta doá yang tembus langit.
“Insyaallah, saya atas nama Pemerintah Kabupaten Sukabumi akan memperjuangkan rumah Bapak Maman supaya Bapak Maman bisa tinggal di rumah yang layak untuk dihuni,” terangnya.
kita melihat bagaimana sapaan pemimpin bisa menjadi cahaya di tengah gelap. Tapi di balik itu, ada pertanyaan yang menggantung: mengapa sapaan itu baru datang setelah 17 tahun?
Di negeri yang katanya adil dan makmur, Pak Maman bukan satu-satunya yang mengalami seperti ini.
Dari Gubuk ke Janji, Dari Sunyi ke Sukabumi Mubarokah yang Menyapa
Pak Maman kini tak lagi sendiri. Di balik layar video call itu, ada tangan negara yang mulai menyentuh. Ada komitmen yang lahir dari empati, bukan dari kalkulasi. Dan Sukabumi Mubarokah bukan lagi mimpi bagi pak Maman, tapi mulai menjelma dalam tindakan kecil yang berarti besar.
Karena di negeri yang ingin berkah, rumah bukan sekadar bangunan. Ia adalah tempat di mana rakyat merasa diakui, dihormati, dan dicintai.
Dan di antara rapunya gubuk itu, kini tumbuh harapan: bahwa janji Bupati Asep Japar bukan sekadar kata, tapi akan menjadi dinding, atap, dan ruang hidup baru bagi Pak Maman.
Sukabumi Mubarokah bukan hanya slogan. Ia adalah rumah yang sedang dibangun—untuk jiwa-jiwa yang ihklas, Jiwa-jiwa yang tak pernah putus asa dalam usaha dan doa dan pada jiwa-jiwa yang percaya jika Tuhan berkendak maka kun fayakun.