Kalau Suntuk, Ngopi Aja Bareng Warga di Sini: Ajakan Iman ke Wabup Andreas

Sukabumimubarokah

News143 Views
banner 468x60

SUKABUMI — Di Muara Citepus, langit bukan sekadar ruang kosong. Ia menjadi panggung tempat harapan diterbangkan, tradisi dihidupkan, dan silaturahmi dijalin. Festival Layangan Tradisional yang digelar Sabtu (13/9) bukan hanya perayaan budaya, tapi juga refleksi sosial yang menyentuh akar kehidupan masyarakat Sukabumi. Dalam semangat Sukabumi Mubarokah, Iman Adinugraha hadir bukan sebagai tamu, melainkan sebagai penggerak yang menyatu dengan denyut warga.

“Jika Pak Wabup suntuk, bisa ngopi dan malam mingguan di sini bersama warga,” ucap Iman, sambil tersenyum di tengah kerumunan komunitas UMKM.

banner 336x280

Ajakan itu bukan basa-basi. Iman mengusulkan, jika suatu waktu Wakil Bupati sedang berada di Palabuhanratu atau menetap di rumah dinas, alangkah baiknya beliau bisa berkumpul bersama warga dan komunitas UMKM di Muara. Duduk sejajar, menyeruput kopi, dan berbagi cerita bukan hanya soal keakraban, tapi tentang membangun kepercayaan dan mendengar langsung denyut kehidupan masyarakat.

“Kedekatan dengan masyarakat membuat kita bisa merasakan dan memahami dari berbagai sisi keluh kesah mereka. Dari cerita yang kita dengar dan kita saksikan, kita bisa ambil langkah yang strategis untuk mengatasi berbagai persoalan,” katanya.

Kalimat ini bukan sekadar refleksi, tapi juga filosofi kepemimpinan yang membumi. Di Muara, kopi bukan hanya minuman, tapi medium silaturahmi. Layangan bukan hanya permainan, tapi simbol arah dan harapan. Dan Blades bukan hanya komunitas, tapi ruang hidup tradisi yang kini merambah dunia digital, menjangkau generasi muda dengan cara yang relevan dan kreatif.

Perspektif Psikologi Sosial dan Filsafat Layangan

Dalam kacamata psikologi sosial, layangan adalah simbol keterhubungan. Tali yang menghubungkannya ke tangan bukanlah batas, melainkan jembatan antara individu dan komunitas. Bermain layangan menciptakan ruang sosial yang egaliter—anak-anak, orang tua, pemimpin, dan pedagang semua menatap langit yang sama, berbagi angin dan tawa.

Secara filosofis, layangan adalah metafora eksistensial. Ia terbang tinggi, namun tak pernah lupa pada titik asalnya. Dalam dunia yang serba digital dan cepat, layangan mengingatkan kita untuk tetap terhubung dengan akar, dengan tanah, dengan sesama. Ia adalah bentuk kontemplasi ringan—tentang arah, tentang angin, tentang keseimbangan antara kendali dan kepercayaan.

Blades: Tradisi yang Merambah Zaman

Blades, komunitas yang menjadi motor festival ini, bukan sekadar organisasi. Ia adalah ruang hidup bagi tradisi yang dianggap klasik dan unik.

“Blades terbuka untuk siapa saja. Karena pada intinya Blades adalah organisasi masyarakat yang mengangkat potensi dan mempertahankan tradisi kearifan lokal,” jelas Iman.

Kini, Blades tak hanya menerbangkan layangan, tapi juga merambah dunia digital. Generasi muda diajak untuk mengemas tradisi dalam format kekinian—video pendek, konten kreatif, dan kampanye sosial yang menyentuh.

“Saya membina Blades ini untuk terus berkontribusi kepada masyarakat dan mendorong masyarakat untuk mandiri, kreatif, serta menjaga silaturahmi,” tambah Iman, sejalan dengan semangat Sukabumi Mubarokah yang ia perjuangkan.

Dari Muara ke Masa Depan

Festival ini bukan hanya tentang langit yang penuh warna, tapi tentang tanah yang penuh harapan. UMKM hidup, anak muda bergerak, dan pemimpin turun tangan. Di Muara Citepus, Sukabumi tak hanya mengenang masa lalu, tapi juga menata masa depan—dengan layangan sebagai simbol, dan silaturahmi sebagai jalan.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed